HARTA PUSAKA TINGGI MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA






Ilustrasi gambar harta pusaka


INDSATU.COM -  Dalam adat Minang harta pusaka terdiri dari 2 macam: 1) Harta pusaka tinggi dan 2) Harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi diwariskan secara turun-temurun kepada satu kaum, sedangkan harta pusaka rendah merupakan hasil pencaharian seseorang dan diwariskan menurut hukum Islam (faraidh). Jadi, kita tidak akan bahas harta pusaka rendah disini karena sudah sesuai dengan hukum waris Islam (faraidh).

Terlihat ada kegamangan orang Minang disini, satu sisi mengaku tunduk pada syara’ tetapi di sisi lain tidak menggunakan hukum waris Islam (faraidh) dalam hal harta pusaka tinggi.

   Status harta pusaka tinggi di Minangkabau menurut hukum positif Indonesia. Siapa yang berwenang mewarisinya dan bagaimana kalau ada pihak lain yang menguasainya tanpa hak?


Begini. Harta Pusaka Tinggi itu bukan merupakan harta pencaharian kedua orangtua melainkan merupakan cancang latieh nenek moyang tambilang basi rang tuo saisuak. Gunanya, untuk kepentingan kaum. Yang berhak mewarisinya adalah kemenakan. Timbul pertanyaan, apakah kemenakan laki-laki atau perempuan yang berhak.


Jawabannya, yang berhak adalah kemenakan perempuan sementara kemenakan laki-laki bertugas untuk memeliharanya. Karena itu laki-laki di Minangkabau berperan besar dalam menjaga kaum dan memelihara harta pusaka tinggi kaumnya. Seorang kemenakan laki-laki dalam kaum adalah mamak dirumah orangtuanya yang menjadi tempat bertanya oleh kamanakan. 


Lalu, apabila ada pihak lain yang mewarisi atau mendapatkannya, entah itu karena jual beli atau karena ada perjanjian tetapi perjanjian dibuat tanpa setahu kaum, bagaimana dengan perjanjian yang demikian, sah atau tidak. Jika tidak sah, siapa yang berhak menuntut?


Jawaban pertanyaan itu ialah perjanjian itu termasuk perjanjian yang tidak sah dan pihak yang dirugikan yaitu kaum berhak menuntut dan yang menuntut bisa salah satu atau seluruh anggota kaum. Tetapi, tindakan menuntut ini harus disertai bukti dan izin dari kaumnya yang dibuktikan dengan suatu surat pernyataan kaum. Perjanjian yang tidak sah itu bisa dibatalkan melalui suatu putusan hakim pengadilan yang berwenang untuk itu. 


Tindakan menuntut ini didukung oleh aturan adat karena menurut hukum adat Minangkabau harta pusaka tinggi tidak bisa diperjualbelikan tetapi bisa digadaikan dengan memenuhi syarat-syarat yang diatur menurut hukum adat.  Apabila dalam hal Ikhwal tertentu harta pusaka tinggi dijual haruslah mendapat persetujuan kaum (dari seluruh anggota kaum). Tidak boleh dijual tanpa setahu kaum, bahkan oleh Mamak Kepala Waris sekalipun. 


Sepanjang suatu harta pusaka tinggi itu dapat dibuktikan bahwa milik suatu kaum tetapi dikuasai pihak lain secara melawan hukum, maka harta pusaka tinggi tersebut bisa diambil kembali oleh kaum yang berhak atas harta pusaka tinggi itu menurut cara yang diatur oleh hukum (*)



Posting Komentar

0 Komentar

Selamat datang di Website www.indsatu.com, Terima kasih telah berkunjung.. tertanda, Pemred : Yendra