Pembelajaran Sastra yang Diidamkan









Oleh : Jasril


INDSATU.COM - Mantan Presiden Amerika Serikat John F. Kenedy (JFK) pernah mengatakan bahwa sastra mampu meluruskan arah kebijakan politik yang bengkok sehingga dia pernah mengatakan, “Ketika politik bengkok, sastra akan meluruskannya”. Kenyataan 

ini menunjukkan bahwa sastra sangat relevan menjadi alat atau petunjuk untuk 

mendidik/menanamkan nilai-nilai moral. Karya sastra merupakan satu dunia keindahan 

dalam wujud bahasa yang dari dirinya telah dipenuhi dengan nilai kehidupan dan 

realitas. Dengan demikian, karya sastra mengajak manusia merasakan kebenaran dan 

kejayaan kehidupan dengan segala eksistensinya. 

Pembelajaran sastra yang memiliki peran penting dalam mendidik, belum 

terlaksana dengan baik di sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Herfanda (2007)

yang mengatakan bahwa kondisi terkini pengajaran sastra belum berjalan secara 

maksimal. Indikator utama yang memperkuat sinyalemen itu adalah masih rendahnya 

apresiasi dan minat baca rata-rata siswa dan lulusan SMA terhadap karya sastra. 

Selanjutnya, Sarjono (2001, hlm. 207—208), mengatakan bahwa permasalahan 

pembelajaran sastra di sekolah adalah (a) tidak terdapat hubungan antara teori dengan 

kemampuan apresiasi peserta didik, (2) guru tidak mempunyai banyak waktu untuk 

mengikuti perkembangan sastra, dan (3) peserta didik tidak mampu mengaitkan nilai 

sastrawi dengan nilai-nilai etis, moral, dan budaya. Apa yang dikemukan oleh Sarjono, 

juga beriringan dengan pendapat Basuki (2005, hlm. 19) yang mengatakan bahwa 

permasalahan pembelajaran sastra di sekolah, yaitu (1) pengajaran bahasa terlalu 

berfokus kepada ilmu/pengetahuan bahasa, (2) keterbatasan waktu menyebabkan guru 

tidak mengajarkan sastra/mengabaikan sastra, (3) kemampuan guru bahasa Indonesia di 

bidang sastra sangat minim, dan (4) sastra tidak dianggap penting atau sebagai materi 

pelajaran yang serius/berat karena sastra hanya menghibur.


Kondisi pembelajaran sastra yang disampaikan oleh beberapa ahli di atas, tentu 

memprihatinkan kita semua. Oleh sebab itu perlu dicarikan solusi yang tepat agar 

pembelajaran sastra kembali ke arah pembelajaran sastra yang diimpikan. Ada beberapa 

hal yang dapat dilakukan guru untuk menggairahkan kembali pembelajaran sastra di 

sekolah, antara lain sebagai berikut. Pertama, meyakinkan peserta didik bahwa


pembelajaran sastra tidak hanya menawarkan hiburan sesaat, tetapi juga memberikan

berbagai manfaat lain bagi peserta didik. Seorang guru harus dapat membuktikan bahwa 

apa yang diajarkannya bermanfaat. Tanpa melihat kemanfaatan dari apa yang dipelajari, 

tanpa menyadari kaitannya dengan realita, maka pelajaran tetap akan kembali sebagai 

“penghajaran” yang membuat mereka yang belajar merasa didera/dihukum. 

Pembelajaran sastra secara langsung ataupun tidak akan membantu peserta didik dalam 

mengembangkan wawasan terhadap tradisi dalam kehidupan manusia, menambah 

kepekaan terhadap berbagai problema personal dan masyarakat manusia, dan sastra 

akan menambah pengetahuan siswa terhadap berbagai konsep teknologi dan sains. 

Penikmatan yang apresiatif terhadap puisi, prosa fiksi, drama dalam berbagai genre 

sastra akan membuktikan kemanfaatannya pada peserta didik. Sastra akan memotivasi 

bahkan menstimulasi manusia untuk bangkit, bekerja, berjuang, dan mencapai 

targetnya. 


Sastra tak hanya permainan kata-kata, tetapi idiom idiom bahasa, yang menjadi 

kanal-kanal ekspresi ke segala bidang, baik seni-budaya, teknologi, ekonomi maupun 

masalah-masalah sosial-politik, pendidikan, pemerintahan bahkan juga agama. Di 

berbagai kampus yang sudah mapan, pembelajaran sastra, dikaitkan dengan sejarah dan 

politik. Karya-karya sastra tidak lagi hanya berhenti sebagai bacaan pelipur lara, tetapi 

juga menjadi dokumen sosial-politik terhadap kurun waktu yang menjadi latar penulisan 

karya sastra. Dari sebuah cerpen, misalnya, seorang professor pengamat politik di 

Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat, membahas masalah G-30-S. Sebuah novel 

berjudul “Uncle Tom’s Cabin” karya Beecher Stowe yang menceritakan penderitaan 

budak-budak kulit hitam di Amerika telah mengobarkan rasa kemanusiaan orang 

Amerika. Buku tersebut dianggap salah satu pencetus dari perang Saudara di Amerika 

yang kemudian membawa kesetaraan perlakuan terhadap kulit hitam di negara yang kini 

mengaku menjadi pelopor demokrasi itu.

Kedua, guru harus berusaha mengubah teknik pembelajaran sastra di sekolah. 


Selama ini pengajaran sastra Indonesia lebih diarahkan pada aspek sejarah dan 

pengetahuan sehingga peserta didik dipacu untuk menghafal, bukan untuk memproduksi 

atau mengahayati karya yang diajarkan. Tampaknya guru harus kembali melihat dan 

memahami tujuan pengajaran sastra di sekolah sehingga konsep pengajaran yang 

apresiatif benar-benar dapat diwujudkan pada masa yang akan datang. Kita tidak dapat 


memungkiri bahwa adanya kesukaran dalam mengajarkan apresiasi sastra pada peserta 

didik yang tingkat keakraban mereka dengan karya sastra relatif kurang. Kita juga 

menyadari bahwa tidak semua guru memiliki kemampuan apresiasi sastra yang relatif 

memadai. Namun demikian, guru harus berusaha secara bertahap untuk melatih 

kemampuan apresiasinya dan berusaha pula mengajarkan apresiasi sastra kepada peserta 

didik. 

Guru harus mampu membuat pembelajaran menjadi menyenangkan bagi peserta 

didik melalui interaksi edukatif antara guru dan peserta didik. Guru pembelajaran sastra 

disarankan mendesain pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran yang 

menyenangkan bisa diterapkan dari beberapa aspek, yaitu (a) penerapan model 

pembelajaran; (b) variasi metode pembelajaran; (c) pendekatan dan teknik 

pembelajaran; (d) pemilihan media yang sesuai; (e) seni mengajar dari guru yang 

bersangkutan, termasuk kemampuan mengelola kelas dan penguasaan materi sastra. 

Mengajar adalah mengantar, membimbing, mengembangkan potensi anak-anak didik 

dengan berbagai pengetahuan yang harus terus dikembangkan dan diikuti 

perkembangannya.

Kegiatan apresiasi sastra tidak hanya diajarkan dalam bentuk pembacaan karya 

sastra kepada peserta didik. Kegiatan apresiasi sastra dapat diwujudkan dalam berbagai 

bentuk kegiatan dengan berbagai teknik pembelajaran. Kegiatan deklamasi, lomba 

penulisan puisi, musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, mendongeng, pembuatan sinopsis, 

bermain peran, penulisan kritik dan esei, dan berbagai kegiatan lain dapat dimanfaatkan 

untuk menumbuhkan apresiasi sastra pada peserta didik. Berbagai kegiatan tersebut 

dijamin akan menumbuhkan penghayatan, pencintaan, dan penghargaan yang relatif 

baik pada para peserta didik terhadap mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Ketiga, perlu dilakukan pengadaan dan pemanfaatan buku/bacaan sastra di 

sekolah. Kegiatan pertama yang dilakukan dalam mengapresiasi sebuah karya sastra 

adalah membaca karya sastra tersebut. Menurut Anwar (2009, hlm. 309), guru dan 

siswa harus diberi waktu dan kesempatan yang cukup untuk bersentuhan dengan karya 

sastra untuk menciptakan pengalaman bersastra. Pemerintah telah berusaha melengkapi 

buku bacaan untuk para peserta didik melalui proyek pengadaan buku bacaan, meskipun 

bahan yang dikirimkan ke sekolah belum memadai. Guru harus dapat memanfaatkan 

sarana yang ada itu untuk memancing kreativitas membaca dan mencipta pada peserta 


didik. Di samping itu, guru dan pihak sekolah harus juga berusaha membeli bacaan lain, 

seperti surat kabar, kumpulan puisi, dan berbagai media lain yang edisi khususnya 

memuat/membahas masalah kesastraan/kebudayaan yang harganya relatif murah. 

Alternatif ini diharapkan dapat membantu mengisi ketiadaan sumber belajar yang 

selama ini menjadi kendala dalam pembelajaran sastra.

Keempat, pembelajaran yang terjadi di Indonesia masih dilaksanakan secara 

terpisah dengan perkembangan peserta didik dan kebutuhan lapangan pekerjaan. Oleh 

sebab itu, perlu dilakukan perbaikan evaluasi pembelajaran yang mengarah ke 

penumbuhan keterampilan dan apresiasi peserta didik. Evaluasi yang menumbuhkan 

keterampilan dan apresiasi peserta didik dapat dilakukan melalui kegiatan penugasan di 

rumah, kegiatan ekstrakurikuler, dan berbagai kegiatan lainnya. Tugas untuk 

memperbaiki evaluasi pembelajaran sastra agar tidak hanya mengagungkan aspek 

hafalan menjadi tanggung jawab guru bahasa/guru kelas. Pelajaran bukanlah tujuan, 

tetapi alat untuk mengantar peserta didik agar sampai kepada hakekat dari makna￾makna berbagai hal di dalam kehidupan yang terus bergerak, berkembang, bertumbuh 

bahkan mungkin berubah.

Menjadi harapan kita bersama bahwa pembelajaran sastra dapat kembali ke posisi 

idealnya. Untuk mencapai harapan itu bergantung kepada kemampuan dan kreativitas 

guru dalam mengelola pembelajaran, termasuk menyiasati segala keterbatasan. Guru 

merupakan aktor sentral dalam pembelajaran sastra yang menyenangkan. Materi sastra 

yang tertuang di dalam kurikulum akan menjadi sangat bermakna di tangan guru-guru 

bahasa yang kreatif, inovatif, dan imajinatif. Guru yang demikian akan terus 

berimprovisasi dalam pembelajaran sastra yang menyenangkan, hidup, dan kaya ilmu. 

Selain itu, pihak sekolah dan pemerintah harus menyiapkan segala sesuatu yang 

dibutuhkan untuk mencapai tujuan mulia pendidikan. Bila semua elemen bersinergi 

untuk perbaikan pendidikan di Indonesia, mudah-mudahan pembelajaran sastra ke depan akan lebih baik. 










Posting Komentar

0 Komentar

Selamat datang di Website www.indsatu.com, Terima kasih telah berkunjung.. tertanda, Pemred : Yendra