PERAN SASTRA DALAM MEMPERHALUS BUDI PEKERTI




Oleh: Asmawati*

INDSATU. COM - Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy pernah mengatakan, “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkan. Jika Politik bengkok, sastra akan

meluruskannya.” Pernyataan presiden Amerika ke-35 ini tentu bukan hanya asal bitcara, presiden negera adikuasa itu menyadari bahwa sastra memiliki peran besar dalam menghaluskan budi pekerti manusia. Kebenaran dalam sastra adalah kebenaran yang tidak disembunyikan sebagaimana kebenaran dalam politik. 

Secara etimologis, sastra berasal dari kata ”sas” dan ”tra”. Akar kata sas-

berarti mendidik, mengajar, memberikan instruksi, sedangkan akhiran –tra menunjuk pada alat. Jadi, secara etimologis sastra berarti alat untuk mendidik, alat untuk mengajar, dan alat untuk memberi petunjuk. Oleh karena itu, sastra pada bersifat mendidik. Dalam karya sastra terkandung nilai-nilai pendidikan. Oleh sebab itu, salah satu tujuan penulisan karya sastra adalah untuk mendidik, mengajar, dan menyampaikan nilai-nilai luhur kehidupan kepada pembacanya.

Pada awalnya sastra diciptakan hanya untuk hiburan. Namun, salam perkembangannya, penciptaan sastra tidak hanya sebagai hiburan semata, melainkan membaca bersastra juga memberi manfaat kepada pembacanya. Menurut Tjokrowinoto (1994), manfaat sastra adalah (1) mempertebal pendidikan agama dan budi pekerti, (2) meningkatkan rasa cinta tanah air, (3) memahami pengorbanan pahlawan bangsa, (4) menambah pengetahuan sejarah, dan (5) mawan diri dan menghibur. 

Beririsan dengan Tjokrowinoto, Haryadi (1994) mengemukakan manfaat sastra, yaitu (1) dapat perperan sebagai hiburan dan media pendidikan, (2) isinya dapat menumbuhkan kecintaan, kebanggaan berbangsa dan hormat pada leluhur, (3) isinya dapat memperluas wawasan tentang kepercayaan, adat-istiadat, dan peradaban bangsa, (4) pergelarannya dapat menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan, (5) proses penciptaannya menumbuhkan jiwa kreatif, responsif, dan dinamis, (6) sumber inspirasi bagi penciptaan bentuk seni yang lain, (7) proses penciptaannya merupakan contoh tentang cara kerja yang tekun, profesional, dan rendah hati, (8) pergelarannya  memberikan teladan kerja sama yang kompak dan harmonis, dan (9) pengaruh asing yang ada di dalamnya memberi gambaran tentang tata pergaulan dan pandangan hidup yang luas.

Dari penjelasan pakar di atas, dapat kita simpulkan bahwa sastra memiliki fungsi sebagai penghalus budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya, dan penyalur gagasan, imajinasi dan ekspresi secara kreatif dan konstruktif. Secara luas fungsi sastra tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut: (1) Sastra dapat merangsang kita untuk memahami dan menghayati kehidupan yang ditampilkan pengarang dalam karyanya setelah melalui interpretasi; (2) Sastra menyarankan berbagai kemungkinan moral, sosial, psikologis sehingga membuat orang dapat lebih cepat mencapai kematangan mental dan kemantapan bersikap yang terjelma dalam perilaku dan pertimbangan pikiran dewasa; (3) Melalui sastra murid dapat meresapi, menghayati secara imajinatif kepentingan-kepentingan di luar dirinya dan mampu melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang lain, berganti-ganti menurut wawasan pengarang dan karya yang dihadapinya; (4) Melalui sastra, budaya atau tradisi suatu bangsa diteruskan secara regeneratif baik cara berpikir, adat-istiadat, sejarah, perilaku religius, maupun bentuk-bentuk budaya lainnya; (5) Karya sastra memberikan sesuatu kepada murid dalam hal mempertinggi tingkat pengenalan diri sendiri dan lingkungan, yang pada gilirannya akan dapat mempertinggi dan mempertajam kesadaran sosial (social awareness).

Menurut Saryono (2009), penyebab sastra dapat menghaluskan budi pekerti karena sastra menyuguhkan banyak pengalaman kepada pembaca. Pengalaman-pengalaman tersebut adalah (1) literer-estetis yang mengandung nilai keindahan, keelokan, kebagusan, kenikmatan, dan keterpanaan (terdapat dalam karya sastra klasik); (2) humanistis yang mengandung nilai kemanusiaan, menjunjung harkat dan martabat manusia, serta menggambarkan situasi dan kondisi manusia dalam menghadapi berbagai masalah; (3) etis dan moral yang mengacu pada pengalaman manusia dalam bersikap dan bertindak, melaksanakan yang benar dan yang salah, serta agaimana seharusnya kewajiban dan tanggung jawab manusia dilakukan; dan (4) religius-sufistis-profetis menyajikan pengalaman spiritual dan transcendental.

Pengalaman yang diperoleh melalui membaca karya sastra dapat memotivasi serta menunjang perkembangan kognitif dan penalaran. Dengan begitu, kepribadian akan terbentuk dengan jelas pada saat mengekspresikan emosi, empati terhadap orang lain, dan saat mengembangkan perasaan mengenai harga diri dan jati diri. Itulah sebabnya, di beberapa negara, seringkali sastra dijadikan perantara untuk mengajarkan pendidikan karakter dengan berpusat pada keteladanan para pahlawannya. Di Inggris, puisi-puisi Shakespreare menjadi bacaan wajib untuk menanamkan tradisi etik dan kebudayaan masyarakat. Di Swedia, aneka spanduk dibentangkan di hari raya berisi kutipan dari karya kesusastraan. Di Prancis, sastrawan-sastrawan agung menghuni pantheon.

Melalui sastra, nilai-nilai berupa kepahlawanan, kejujuran, pengorbanan, dan sifat-sifat luhur lainnya dapat diajarkan lewat jalinan cerita yang disusun rapi dan indah. Medium sastra dapat menjembati kisah keteladanan masa lalu, kemudian dikontekstualisasikan sebagai sumber keteladanan dan kearifan masa sekarang. Lebih jauh sastra dapat menstimulus kepekaan jiwa pembacanya dalam menyelami aneka sifat, kepribadian, dan karakter tokoh-tokoh yang diceriterakan. (*)


*Asmawati, dosen STKIP YDB Lubuk Alung, Padang Pariaman

Posting Komentar

0 Komentar

Selamat datang di Website www.indsatu.com, Terima kasih telah berkunjung.. tertanda, Pemred : Yendra